Stop “Kriminalisasi” Pers Lewat UU ITE, Jurnalis Bekerja Berdasarkan UU Pers No 40 Tahun 1999

Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) lakukan demo stop "Kriminalisasi" Jurnalis.

rajawalionline – Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik banyak di salah gunakan oleh oknum penegak hukum dalam menerapkannya. Peraturan yang lebih dikenal dengan Undang Undang ITE tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi berbagai masalah di dunia digital, seperti hoaks, cybercrime, dan sebagainya. Namun, dalam implementasinya, UU ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu.

Muhammad Asrul jurnalis asal Palopo, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu korban “Kriminalisasi” penerapan UU ITE yang baru saja terjadi. Asrul divonis tiga bulan penjara setelah meliput dan menerbitkan tulisan mengenai dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah di Palopo, Sulawesi Selatan. Dalam proses pengadilan, Asrul terbukti mencemarkan nama baik pejabat daerah Palopo, Sulawesi Selatan.

Read More

Saat ini jumlah korban “kriminalisasi” UU ITE tak terhitung banyaknya. Korban dari “kriminalisasi” UU ITE pun bermacam-macam, mulai dari aktivis hingga jurnalis. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut adalah deretan jurnalis yang menjadi korban “kriminalisasi” UU ITE :

Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono, pernah menjadi korban kriminalisasi UU ITE pada 2019. Kala itu, sebagaimana dilansir dari tempo.co, cuitan akun Twitternya mengenai kondisi politik di Wamena dan Jayapura membuat Dandhy diciduk polisi. Ia dijerat dengan pasal ujaran kebencian kepada individu atau suatu kelompok.

Gencar Jarot
Gencar Jarot merupakan seorang jurnalis sekaligus pemilik media berita online koranindigo.online di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Gencar pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Parigi Moutong setelah dilaporkan oleh Direktur RSUD Anuntaloko Parigi, Nurlela Harate pada April 2019. Laporan tersebut menyusul terbitnya berita yang ditulis Gencar mengenai kebijakan RSUD Anuntaloko Parigi yang membuat seorang pasien meninggal dunia pada Januari 2019.

Fadli Aksar dan Wiwid Abid Abadi
Fadli Aksar dan Wiwid Abid Abadi masing-masing merupakan jurnalis detiksultra.com dan okesultra.com yang pernah meliput dugaan maladministrasi pada Pemilihan Umum Legislatif 2019 di Sulawesi Tenggara. Laporan keduanya mengenai temuan maladministrasi dan pemalsuan dokumen oleh calon legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN), Andri Tendri Wahyu, membuat mereka dilaporkan ke polisi dengan jeratan pasal UU ITE. Perkara keduanya berhasil dibawa ke Dewan Pers setelah kepolisian setempat didemo oleh jurnalis.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE kembali menjadi alat “kriminalisasi”. Kali ini, jurnalis media daring berita.news, Muhammad Asrul, menjadi korban “kriminalisasi” UU ITE setelah menulis berita mengenai dugaan korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan. Dilansir dari Koran Tempo, Muhammad Asrul divonis tiga bulan penjara setelah terbukti mencemarkan nama baik pejabat daerah di Palopo, Sulawesi Selatan.

Muhammad Asrul bukanlah korban pertama dari UU ITE. Banyak pihak yang telah menjadi korban “kriminalisasi” UU ITE, mulai dari Jurnalis, aktivis, bahkan hingga penegak hukum. Dilansir dari tempo.co, sebelum Asrul, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis Watchdoc, pernah menjadi korban “kriminalisasi” UU ITE. Dandhy diciduk polisi setelah cuitan dan unggahannya di media sosial dilaporkan sebagai bentuk ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu.

Asrul, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis Watchdoc, pernah menjadi korban “kriminalisasi” UU ITE. Dandhy diciduk polisi setelah cuitan dan unggahannya di media sosial dilaporkan sebagai bentuk ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu.

Selain Dandhy, Penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, juga pernah menjadi korban pasal karet UU ITE. Novel pernah dilaporkan ke polisi oleh Politikus PDIP, Dewi Tanjung, atas tuduhan berita bohong pada 2017. Dewi menuduh sakit yang diderita Novel akibat siraman air keras merupakan berita bohong yang mengada-ada. Namun, setelah diselidiki lebih lanjut, laporan Dewi ternyata berkebalikan dengan fakta yang ada.

Banyaknya laporan mengenai penyalahgunaan UU ITE memunculkan wacana mengenai pihak yang paling sering menggunakannya. Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (PAKU ITE) menyampaikan deretan aktor yang paling sering menggunakan UU ITE untuk melaporkan seseorang ke polisi. Data mengenai deretan aktor tersebut diperoleh setelah PAKU ITE menghimpun data dan laporan dari berbagai sumber sekaligus.

Data dan laporan yang diterima PAKU ITE menunjukkan bahwa pejabat pemerintah, pengusaha, dan polisi merupakan deretan aktor yang paling sering menggunakan UU ITE untuk melapor ke polisi. Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad, menyatakan bahwa pejabat pemerintah menjadi aktor nomor satu yang paling sering menggunakan UU ITE untuk membuat laporan ke polisi. Laporan tersebut umumnya dibuat untuk membungkam para pengkritiknya di media sosial.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pengusaha di media sosial. Arsyad menyatakan bahwa kekuatan finansial para pengusaha membuat mereka mudah menggunakan UU ITE untuk membungkam kritikus perusahaan mereka, terutama para buruh yang sering mengkritik rendahnya upah dan kebijakan perusahaan. Karena berbagai faktor tersebut, pengusaha menjadi aktor nomor dua yang paling banyak menggunakan UU ITE sebagai instrumen “kriminalisasi”.

Aktor ketiga yang paling sering menggunakan UU ITE untuk mengkriminalisasi adalah oknum polisi. Hal tersebut berangkat dari fakta bahwa beberapa kasus pelaporan UU ITE berawal dari laporan oknum polisi itu sendiri. Kasus Dandhy Laksono dan Ravio Patra merupakan salah dua kasus UU ITE yang berawal dari aduan oknum polisi itu sendiri.

Dilihat dari kejadian yang menimpa para pengemban tugas jurnalis, hal tersebut harus di luruskan, karena tidak ada dasar UU ITE harus masuk ke ranah UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, karena propesi jurnalis dalam menjalankan propesinya berdasarkan UU Pers, bukan UU ITE.

Kepada pengguna dan pelaksana Undang Undang jangan salah dalam penafsiran, bisa saja nanti di perapradilkan bagi yang mengerti aturan yang sebenarnya.

Untuk itu, para penegak hukum yang menjerat jurnalis dengan UU ITE, itu tidak layak dan tidak di peruntukan untuk seorang jurnalis yang menjalankan propesinya, apalagi tulisan berita dijadikan pidana UU ITE, itu sama saja “Kriminalisasi” Jurnalis (Pers).

Stop “Kriminalisasi” Pers lewat UU ITE, propesi wartawan adalah propesi mulia, tanpa wartawan (Jurnalis), masyarakat tidak akan dapat kabar perkembangan bangsa dan negara. Pers itu sosial kontrol masyarakat, apabila ada kecurangan, penyimpangan, penyelewengan, Korupsi, kolusi, nepotisme, dan perkebangan dunia.

Jadi, tugas dan propesi seorang jurnalis jangan di “intimidasi” oleh UU ITE dalam menjalankan tugasnya, jika propesi jurnalis melangar kode etik tugasnya, maka Dewan Pers lah tempat peradilannya.

Bagi para insan Pers di Indonesia, jangan berdiam diri saja atas sangkaan UU ITE terhadap tulisan pemberitaan, lawan dan tolak perlakuan tersebut. Jurnalis ada aturan sendiri dalam menjalankan propesinya, dan menurut amanat UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, jika seorang jurnalis melakukan perbuatan pelanggaran dalam menjalankan propesinya, di selesaikan di Dewan Pers sebagai pengadilan INSAN PERS, bukan di pengadilan.

Untuk itu, para Insan Pers dimanapun berada, sudah sepatutnya kita harus menegakkan keadilan yang seadilnya, atas “kriminalisasi” Undang Undang ITE terhadap Undang Undang Pokok Pers No 40 Tahun 1999.

Mari bersama kita tolak dan hancurkan segala bentuk “kriminalisasi” terhadap kinerja propesi Jurnalis, baik dalam penerapan hukumnya, maupun dalam kesinambungan kemerdekaan Pers Indonesia, Ayo.. “ Selamatkan Pers Indonesia.” Merdeka!!!

(Red)

Related posts