Hukum Perdata Indonesia Belum Menjangkau Revolusi Industri

Dr Dwi Sugiarto SH, MH, Hakim Mahkamah Agung RI

Jakarta, rajawalionline – Saat seleksi wawancara terbuka calon hakim agung (CHA) beberapa waktu yang lalu, Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar Dwi Sugiarto untuk kamar Perdata menjawab pertanyaan dari Anggota KY, mantan Ketua MA Bagir Manan, dan mantan Hakim Agung M. Saleh.

Dwi menilai, hukum perdata di Indonesia masih belum menjangkau perkembangan revolusi industri 4.0. KUH Perdata belum menjangkau perkembangan transaksi online, namun masih bisa ditutupi dengan pecahan dari UU lain seperti UU IT dan lainnya. Walaupun demikian, bisa dilakukan interpretasi antologi, tentang konsep perjanjian, sehingga bisa menjangkau kekosongan hukumnya.

“Misalnya dalam melakukan transaksi tranportasi online, kedua belah pihak untuk melakukan pengantaran dan pembayaran dari titik A ke B. Jika salah satu pihak mengingkari, padahal di aplikasi sudah ada kesepakatan pengantaran, ini bisa masuk dalam wanprestasi. Bisa diajukan ke hukum, karena pelanggaran wanprestasi ini perkembangan dari hukum perdata tentang pengingkaran perjanjian,” papar Dwi.

Menurut Dwi, pada prinsipnya setuju dilakukan ekseminasi untuk putusan di tingkat pertama yang ‘nyeleneh’. Namun dalam aturannya, putusan yang belum inkracht tidak boleh dikomentari atau diekseminasi.

“Tapi jika KY secara internal melakukan ekseminasi putusan di tingkat pertama dengan tujuan menjadi jembatan penanganan kasus ke MA agar putusan di tingkat berikutnya menjadi akuntabel, saya setuju dengan pendapat tersebut,” ungkap Dwi.

Dwi menyatakan siap dipanggil oleh KY meskipun pemeriksaan dilakukan terkait teknis yudisial, meskipun hal tersebut menjadi pertentangan antara KY dan MA. Sepanjang melakukan pelanggaran-pelanggaran etik, siap dipanggil. Karena klarifikasi terjadinya pelanggaran bisa bermula dari putusan yang nyeleneh.

“Misalnya dalam salah satu perkara pra peradilan, putusannya ultra petita. Dari sini bisa dilihat hakim profesional atau tidak. Profesional dan integritas merupakan poin dari KEPPH. Jadi KY bisa memeriksa dari sudut pandang tersebut. Dan dalam ketentuan terakhir, kode etik memasukkan putusan,” jelas Dwi.

Putusan memang tidak bisa dibatalkan, namun jika sangat nyeleneh, KY dan MA bisa memeriksa.

“Misconduct dan teknis yudisial pasti terkait, tidak bisa dipisahkan. Kalau ada putusan yang nyeleneh, Badan Pengawas MA juga tidak tutup mata. Dan jika oknum hakim tersebut tidak hadir saat dipanggil KY, maka sesuai KEPPH, hakim tersebut melanggar poin bertanggung jawab. Sebab putusan adalah tanggung jawab hakim. Jika hakim tidak mau dipanggil, berarti hakim itu tidak bertanggung jawab,” Pungkas Dwi dengan tegas.

(Red)

Related posts